Sejarah haji
Ibadah
haji bukan hanya terkait dengan aspek spiritual sebagai pelaksanaan rukun
Islam. Lebih dari itu, ibadah ini memiliki dimensi sosial sebagai simbol
ketinggian status seserang yang telah melaksanakannya. Dalam konteks ini,
masyarakat Jawa biasanya akan mengganti nama kecilnya dalam dua momen;
pernikahan dan haji.
Secara
historis, realitas tersebut sudah mapan jauh sebelum kemerdekaan. Setelah
berhaji, seringkali orang-orang Jawa yang memiliki nama Jawa akan segera
mengganti namanya dengan yang berbau Arab dan menambahkan gelar haji di depan
namanya.
Meski
demikian, dalam banyak kasus, pemberian status tersebut biasanya berbanding
lurus dengan peran yang mereka lakukan setelah kembali dari Makkah. Ketika
kembali dari Makkah, banyak di antara jamaah haji yang memainkan peran penting
dalam proses transformasi masyarakat, sepertiKH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan,
H Samanhoedi, dan Hamka.
Setidaknya
ada dua faktor yang mempengaruhi itu, yaitu tantangan internal berupa
keterpurukan masyarakat Nusantara dan tantangan eksternal berupa kolonialisme
Belanda.
Ketika
di Makkah, jamaah haji bertemu dengan banyak bangsa yang lebih maju dari
bangsanya. Dalam pertemuan inilah jamaah haji Nusantara berefleksi diri dan
membandingkan bangsanya dengan berbagai bangsa yang lebih maju itu. Dari sini
lahirlah ide dan gerakan pembaharuan sosial keagamaan dan semangat anti
penjajahan.
Faktor
itu diperkuat oleh kenyataan panjangnya masa haji di masa lampau. Di masa lampau,
perjalanan haji memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dalam
perjalanan itu, jamaah haji tidak langsung ke Makkah, tapi transit di berbagai
pulau dan negara sebelum sampai ke Makkah. Sebagai gambaran, di abad ke 17,
perjalanan haji Sultan Haji dari Banten yang memakan waktu 1,5 tahun pergi-pulang
dianggap sudah cepat.
Pun demikian, ketika selesai berhaji mereka
tidak bisa langsung kembali ke tanah air. Mereka harus menunggu kapal untuk
kembali. Dalam masa penantian itulah jamaah haji memanfaatkannya untuk
berdagang atau menuntut ilmu. Banyak juga di antara mereka yang tinggal
bertahun-tahun dengan niat menuntut ilmu di berbagai zawiyah di tanah
suci. Pengetahuan baru yang mereka peroleh di tanah suci itulah yang melahirkan
kesadaran untuk melakukan perubahan sosial dan menentang penjajahan saat pulang
ke tanah air.
Keadaan itu tentu saja mengkhawatirkan
pemerintah kolonial Belanda. Untuk menangkal semangat perlawanan yang dibawa
jamaah haji, pemerintah kolonial membuat regulasi yang mempersulit perjalanan
haji, seperti Resolusi tahun 1825 dan 1831.
Dalam
Resolusi tahun 1825, setiap calon jamaah haji harus membayar f 110 (110 gulden)
untuk mendapatkan paspor haji. Di samping itu, para Residen dan Bupati
diharapkan dapat membendung keinginan masyarakat untuk berhaji.
Resolusi
1825 itu kemudian diubah dengan Resolusi tahun 1831 yang memuat ketentuan;
pelanggar paspor haji atau yang tidak memiliki paspor haji akan dikenakan denda
f 1000. Besaran jumlah denda kemudian hari diubah menjadi f 220. Di tahun 1852
kedua Resolusi itu dihapus, tetapi aturan keharusan memiliki paspor haji tetap
ada meski pembayarannya tidak terlalu mahal.
Pada
tahun 1859 Belanda kembali mengatur haji dengan mengeluarkan Ordonansi Haji
yang berisi; 1. harus memiliki surat
keterangan dari bupati bagi yang ingin berhaji, dan memiliki bekal yang cukup
selama haji dan bagi keluarga yang ditinggalkan; 2. diadakan ujian bagi yang
telah datang dari haji; 3. bila telah lulus ujian baru jamaah haji bisa memakai
gelar haji dan memakai busana khusus haji.
0 komentar:
Posting Komentar